Jumat, 27 Juni 2008

PILIHAN SULIT BAGI INCUMBENT
UNTUK MENCALONKAN DIRI LAGI DALAM PILKADA




TIDAK cuma calon perseorangan yang dipersulit. Pejabat yang sedang berkuasa dan ingin menjabat lagi - incumbent - pun dipersulit. Undang-undang Pemda No 32/2004 yang baru saja direvisi DPR memperlihatkan itu dengan jelas. Selama ini para incumbent - bupati, gubernur, dan walikota - memperoleh keistimewaan bila mereka bersaing lagi dalam pilkada. Mereka cuma cuti sementara. Setelah bertarung, dan kalau gagal, dengan senang dan tenang memegang kembali jabatan sampai pejabat terpilih dilantik. Mengharuskan incumbent mengundurkan diri bila mencalonkan diri kembali adalah sebuah putusan yang adil dan menjamin aspek-aspek demokrasi. Seperti akuntabilitas.
Adalah tidak adil ketika dalam pilkada calon-calon non-incumbent dipaksa bertarung dengan incumbent yang cuma cuti. Aturan ini adalah sebuah kepura-puraan. Keadilan terjamin dalam pilkada bila pertarungannya adalah antara timun dengan timun. Tidak adil jika timun diadu dengan duren. Tidak adil karena duren yang berduri akan dengan mudah melumat timun. Dengan demikian untuk menjamin keadilan dalam pertarungan timun melawan duren, maka si duren harus dibersihkan dulu duri-durinya. Keadilan dalam metafora timun versun duren, memang, tidak terpenuhi selama incumbent cuma diharuskan cuti. Karena dalam praktik dengan status cuti, kekuasaan dan power masih melekat pada diri incumbent itu.Dia bisa mengerahkan stafnya di birokrasi sebagai pendukung dan sebagai tim kampanye. Dia bisa menggunakan fasilitas negara dengan berbagai kamuflase. Dan dia masih bisa menakut-nakuti anak buah yang tidak mendukungnya.
Dengan keharusan mengundurkan diri, seorang gubernur, bupati, dan walikota, berpikir seribu kali untuk mencalonkan diri periode kedua. Hanya dengan keyakinan luar biasa dan keberanian luar biasa juga seorang incumbent mengambil risiko ini. Dalam jangka panjang, keharusan ini memaksa para gubernur, bupati, dan walikota untuk lebih bertanggung jawab dalam mengemban amanat rakyat dalam pilkada. Rakyat memilih mereka untuk bekerja lima tahun, bukan empat setengah tahun. Dalam praktik, para gubernur, bupati, dan walikota yang mencalonkan diri kembali, telah menghabiskan waktu dan pikirannya minimal dua tahun menjelang pilkada. Artinya, mereka cuma bekerja efektif selama tiga tahun saja. Selebihnya adalah berpolitik. Bagi kalangan yang kritis, keharusan incumbent mengundurkan diri bila ingin mencalonkan diri kembali, membuka pertanyaan lain. Kalau gubernur dan bupati serta walikota yang mencalonkan diri lagi untuk periode kedua diharuskan mengundurkan diri, bagaimana dengan presiden? Apakah seorang presiden yang maju lagi untuk jabatan kedua, tidak perlu diperlakukan sama dengan gubernur, bupati, dan walikota?
www.inilah.com

Kamis, 26 Juni 2008

Persaudaraan dalam Islam

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (49:10)

Ayat ke-10 surat Al-hujarat di atas adalah pembukaan dari taklim yang diberikan oleh ustadz Deni. Pak ustadz menegaskan bahwa ada dua kewajiban di sana, mendamaikan saudara seiman dan bertakwa.

Orang-orang muslim itu sesungguhnya bersaudara. Tidak ada hubungan persaudaraan yang lebih kuat dan wajib daripada sebuah persaudaraan karena iman. Dan sabdar Rasulullah SAW, "Ikatan iman yang paling kuat adalah kecintaan karena Allah dan kebencian karena Allah" (Abu Dawud dan Ahmad). Hanya saudara-saudara seimanlah yang akan menjadi teman kita sampai di akherat kelak.

Banyak sekali hadits yang mengajarkan kita bagaimana bersaudara dalam Islam. Yang saya ingat dan paling mendasar adalah, "Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri" (Bukhari). Masyaallah, Rasulullah SAW menyandingi cinta kepada saudara seiman dengan keimanan kita! Tentu kita teringat kisah sahabat yang memberikan air kepada sahabatnya yang sekarat namun sang sahabat yang sekarat memberikannya kepada temannya yang juga sekarat pada perang Yarmuk.

Perbedaan pendapat adalah sebuah karunia dari Allah SWT. Tapi karunia ini hanya bisa menjadi nikmat jika di antara kita sudah saling mencintai. Jika tidak, maka perbedaan adalah sebuah laknat.

Bagaimana cara mencintai saudara kita? Kita sering merasa susah mencintai orang, karena alasan perbedaan cara pandang, gaya, kebutuhan, dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak. Lihatlah persamaan, jangan fokus pada perbedaan. Jika saudara kita punya 99 keburukan atau perbedaan dan punya 1 kebaikan atau persamaan, maka fokuslah pada 1 kebaikan atau persamaan itu. Sehingga memudahkan bagi kita untuk menghormatinya dan mencintainya. Memperbesar perbedaan tidaklah bermanfaat, hanya menimbulkan kebencian dan keretakan. Namun untuk diri sendiri, jika punya 99 kebaikan dan 1 keburukan, maka fokuslah pada 1 keburukan itu sehingga kita senantiasa tafakur dan memperbaiki diri sendiri.

Yang harus dicatat di sini adalah perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan masalah khilafiyah, bukan masalah akidah. Pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh adalah masalah khilafiyah, perbedaan jatuhnya 1 Syawal adalah masalah khilafiyah, pakai sorban atau tidak itu adalah masalah khilafiyah. Tidaklah usah diperdebatkan sampai harus pisah masjid, sampai pisah jamaah, atau malah tidak bersapaan. Ibadah adalah amalan, dan Allah SWT insyaallah akan memperbaiki amalan kita selagi kita konsisten dalam beribadah.

Khusus mengenai akidah, kita harus tegas. Bahwa Allah itu Esa dan Muhammad SAW itu nabi dan rasul terakhir adalah masalah akidah. Bahwa Al-quran wahyu Illahi adalah masalah akidah. Bahwa shalat itu lima kali sehari adalah akidah. Bahwa puasa dan zakat itu wajib bagi muslim adalah akidah. Kalau ada saudara kita yang sudah mempermainkan hal-hal ini, wajib bagi kita bersikap tegas mengatakan bahwa itu salah.

Ketegasan sikap dalam akidah ini wajib kepada saudara sendiri, apa lagi kepada kaum kafir. Sikap tegas tidak harus dalam bentuk perang atau berdebat. Sikap fundamental tegas kepada kaum kafir adalah mendisiplinkan diri sendiri bahwa syariat Islam yang kita jalani adalah yang terbaik dan tidak perlu ada toleransi dalam beribadah.

Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku (109:6)

Kepada kaum kafir kita harus berakhlak. Toleransi habluminannas kepada mereka tidak boleh sampai menyakiti saudara seiman. Ada dua jenis kafir, dhimmi dan harbi. Kafir dhimmi adalah kafir yang berdamai dengan muslim, mereka tidak beriman tapi tidak memerangi kaum muslimin. Kafir ini oleh Rasulullah wajib untuk dilindungi. Kafir harbi adalah kafir yang memerangi kaum muslimin, baik dari sikap, pemikiran, perkataan, atau perbuatan. Saya teringat dengan sebuah kisah dalam bab "Pengkhiatan pertama kaum yahudi terhadap kaum muslimin" Sirah Nabawiyah oleh Al-Buthy.

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far bin al-Musawwir bin Makhramah dari Abu 'Uwanah bahwa seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa'. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuh perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukah sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahud itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu supaya membuka penutup mukanya, tetapi ia menolaknya. Tanpa diketahui oleh wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaian yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.

Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. MEndengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di tempat perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itupun mati terbunuh.

Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua Hijriah. Sebelum itu, Rasulullah dan kaum Yahudi sudah memiliki perjanjian damai. Namun akibat ulah Yahudi ini, Rasulullah SWT mengepung dan mengusir Yahudi Bani Qainuqa'.

Ubadah bin Shamith ra., seorang sahabat yang memiliki banyak sekutu dengan Yahudi Bani Qainuqa', berkata kepada Rasulullah SAW, "Sesungguhnya aku memberikan loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin, dan aku melepaskan ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut." Lain lagi dengan Abdullah bin Ubay, seorang munafik terkenal di zaman itu. Sepertinya Ubadah ra., Abullah bin Ubay memiliki banyak sekutu juga dengan Yahudi Bani Qunaqa'. Dihalanginya Rasulullah SAW untuk mengepung Banu Qainuqa'. Ditahannya Rasulullah SAW dan berkata, "Demi Allah, tidak akan aku lepaskan engkau sebelum engkau memperlakukan para sahabatku (Bani Qainuqa') dengan baik."

Contoh cerita sahabat di atas sudah cukup bagi kita bagaimana maksud berakhlak kepada kafir harbi. Apabila saudara seiman kita didholimi, kita wajib membela. Apalagi jika agama kita di cela, kita wajib bertindak. Jangan sampai karena ingin mendamaikan perselisihan antara seorang muslim dan kafir, lantas menyakiti saudara sendiri atau mempermainkan syariat Islam demi mencari pembenaran. Namun juga harus diingat, tolong-menolong yang dianjurkan dalam Islam adalah dalam haq, bukan bathil — tolong-menolong dalam bathil justru haram hukumnya.

Ustadz Deni juga membahas mengenai pentingnya sesama muslim saling tolong-menolong (dalam kebajikan tentunya) dan saling memudahkan urusan. Sebagai penutup, saya salinkan sebuah hadits arbain:

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang membebaskan kesempitan dunia, maka Allah akan memebaskannya dari kesempitan di hari Kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib orang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hambanya menolong saudaranya." (Muslim)

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."(3:8)


Senin, 02 Juni 2008

Partai Peserta Pemilu

51 Partai politik peserta Pemilu 2009 yang lolos verifikasi administratif Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di antara jumlah tersebut 16 partai lama otomatis ikut Pemilu 2009, dan 35 partai baru harus melalui verifikasi faktual terlebih dulu.

Partai yang otomatis menjadi peserta Pemilu 2009 karena memenuhi ketentuan pasal 315 dan pasal 316 huruf d UU 10/2008 tentang Pemilu. Mereka mendapatkan kursi di DPR dan atau menjadi peserta Pemilu 2004.

7 Parpol yang memenuhi pasal 315 UU Pemilu yaitu:
1. Partai Golkar
2. PDIP
3. PPP
4. Partai Demokrat
5. PAN
6. PKB
7. PKS

9 Parpol yang memenuhi pasal 316 huruf d UU Pemilu yaitu:
1. PBR
2. PDS
3. PBB
4. Partai Demokrasi Kebangsaan
5. Partai Pelopor
6. Partai Karya Peduli Bangsa
7. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
8. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
9. Partai Penegak Demokrasi Indonesia

Sedangkan 35 parpol baru yang lolos verifikasi administratif yaitu:
1. Partai Hanura
2. Partai Peduli Rakyat Nasional
3. Partai Pemersatu Bangsa
4. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
5. Partai Pemuda Indonesia
6. Partai Demokrasi Kebangsaan Bersatu
7. Partai Matahari Bangsa
8. Partai Republiku Indonesia
9. Partai Demokrasi Pembaruan
10. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
11. Partai Persatuan Daerah
12. Partai Buruh
13. Partai Nurani Umat
14. Partai Patriot
15. Partai Kebangkitan Nasional Ulama
16. Partai Kristen Demokrat
17. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
18. Partai Karya Perjuangan
19. Partai Barisan Nasional
20. Partai Republik Nusantara
21. Partai Perjuangan Indonesia baru
22. Partai Bhinneka Indonesia
23. Partai Kedaulatan
24. Partai Nusantara Kedaulatan Rakyat Indonesia
25. Partai Kasih Demokrasi Indonesia
26. partai Merdeka
27. Partai Kristen Indonesia 1945
28. Partai Reformasi
29. Partai Pembaruan bangsa
30. Partai Indonesia Sejahtera
31. Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat
32. Partai Indonesia Tanah Air Kita
33. Partai Persatuan Sarikat Indonesia
34. Partai Kasih
35. Partai Kongres

Dari 51 parpol tersebut 5 parpol yang mengalami kepengurusan ganda, yaitu PKB, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, PNI Marhaenisme, Partai Karya Pembangunan Indonesia, dan Partai Damai Sejahtera. Namun yang masih menunggu putusan pegadilan tentang kepengurusan ganda hanya PKB dan PNI Marhaenisme, 3 lainnya sudah selesai.

Sementara 11 parpol yang tidak lolos verifikasi yaitu:
1. Partai Nasional Indonesia
2. Partai Kristen Demokrasi indonesia
3. Partai Tenaga Kerja Indonesia
4. Partai Masyarakat Madani
5. Partai Pemersatu Nasional Indonesia
6. Partai Republik
7. Partai Bela Negara
8. Partai Islam
9. Partai Persatuan Perjuangan Rakyat
10. Partai Kerakyatan Nasional
11. Partai Reformasi Demokrasi

Sedangkan yang mengundurkan diri karena tidak terdaftar memiliki badan hukum di Depkum HAM yaitu:
1. Partai Islam Indonesia Masyumi
2. Partai Kemakmuran Rakyat.

sumber: detik.com

Selasa, 20 Mei 2008

Kebangkitan Nasional Milenium II


Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra


Hari-hari ini, bangsa Indonesia memperingati 100 tahun atau satu milenium Kebangkitan Nasional 2008. Banyak agenda dan acara untuk memperingati peristiwa bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa Kebangkitan Nasional 1908 merupakan salah satu momentum terpenting dalam kebangkitan bangsa di zaman kolonial Belanda menuju kemerdekaan, yang akhirnya memungkinkan negara-bangsa Indonesia tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Dalam sebuah forum pelatihan reguler di Lemhannas pada akhir April lalu, saya mendapat pertanyaan tentang relevansi Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan berbagai tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang. Pertanyaan ini muncul karena berbagai realitas, kondisi, dan tantangan yang dihadapi seolah membuatnya tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara tentang Kebangkitan Nasional. Apalagi kalau peringatan hari Kebangkitan Nasional 2008 ingin dijadikan momentum untuk Kebangkitan Nasional kedua dalam waktu 100 tahun ke depan.

Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kebangkitan Nasional bersama Sumpah Pemuda 1928 agaknya lebih memiliki makna simbolis daripada hal-hal lain. Ia merupakan simbol penting dari perjalanan bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat. Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan.

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai. Bahkan, boleh jadi tidak akan pernah selesai. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities--komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia tampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan. Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, imagined communities itu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah 'negara-bangsa' Indonesia yang merdeka dan berdaulat, apakah imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan dalam masa-masa Kebangkitan Nasional menginjak milenium kedua?

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908. Lalu, menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan. Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; negara-bangsa (nation-state) Indonesia; dasar negara Pancasila; bahasa nasional, bahasa Indonesia; lagu kebangsaan Indonesia Raya; semboyan negara, 'Bhinneka Tunggal Ika'; bendera negara, sang saka merah putih; konstitusi negara, UUD 1945; integrasi Wawasan Nusantara; serta tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai 'mengindonesia'.


'Mengindonesia', seperti dikemukakan Tilaar (2007), menunjukkan proses. Menjadi Indonesia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Sebaliknya, 'mengindonesia' mengisyaratkan adanya suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran--atau bahkan impian--yang ingin diwujudkan secara bersama. Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, 'mengindonesia' berarti proses untuk mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita-cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil, makmur, berharkat, dan bermartabat, baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional.

Identitas nasional jelas tidak statis. Proses 'mengindonesia' mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan; sejak dari ekonomi, politik, sampai budaya; secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia.


Akibatnya, secara internal, terjadi perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional. Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1998. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustasi di kalangan masyarakat. Rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional.


Maka, penting merenungkan apa yang diingatkan Manuel Castles dalam Power of Identity (2004). Menurut dia, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi kepentingan sosial yang dapat memberdayakan diri dalam identitas yang direkonstruksi kembali, suatu kekuatan sosial/politik boleh jadi mengambil alih negara. Dan, menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas tersebut. Jika ini terjadi, jelas merupakan ancaman serius bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia.


*Republika, Kamis 15 Mei 2008